Sudah kita maklumi, bahwa anak (peserta didik) berkebutuhan khusus merupakan
anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Memang
setiap orang memiliki hambatan masing-masing, memiliki kebutuhan masing-masing (berbeda
dengan individu yang lain). Tetapi bukan berarti begitu saja kita sebut
kebutuhan khusus.
Misal,
si Utuh mengatakan saat ini dia sangat memerlukan kuota 100 Gb supaya bisa
nonton bola sepuasnya, tidak seperti yang lain cukup 1 Gb untuk internetan dalam
sebulan, lalu si Utuh disebut “berkebutuhan khusus”.
Namun
saya tidak mengatakan contoh tersebut salah untuk menjelaskan arti kebutuhan
khusus. Apalagi saya pernah mendengar penjelasan dengan contoh seperti itu
namun dalam contoh yang lain tetapi saya lupa persisnya.
Maksud
saya begini, jangan karena sifatnya individual atau pribadi lalu jadi istilah spesial
atau khusus atau sedikit-sedikit “berkebutuhan khusus”.
Yang
saya setuju adalah kebutuhan khusus itu lebih pada “adanya kesenjangan” antara
potensi yang dimiliki masing-masing peserta didik (individu) dengan prestasi
yang dicapainya.
Kesenjangan ini jika kita
lanjutkan karena adanya “masalah dalam belajar”, dan masalah dalam belajar ini
akibat adanya kesulitan atau hambatan. Dalam beberapa literatur menyebutkan
hambatan itu ada yang bersifat permanen ada juga yang temporer.
Dalam
istilah luar biasa, hambatan ini bentuknya adalah perbedaan interindividual (yang signifikan) baik dalam hal keadaan fisik
dan fungsi fisik, intelektual, emosi dan perilaku, atau sosial secara subnormal (dibawah rata-rata) maupun
secara supernormal (diatas rata-rata)
umumnya kita sebut anak luar biasa.
Umumnya
di sekolah khusus atau sekolah luar biasa lebih berkutat pada hambatan yang
permanen ini (bahkan cenderung ke subnormal
saja) dan sepertinya sekolah-sekolah biasa pun juga memandang hambatan anak
seperti itu. Sehingga ada kemungkinan mengabaikan hambatan temporer.
Padahal kita tahu, masalah dalam
belajar misalnya tidak hanya dikarenakan anak memiliki daya konsentrasi yang
rendah karena kelainan di otaknya (permanen), tetapi ada juga anak yang
kesulitan konsentrasi dikarenakan ada masalah dalam keluarganya (temporer).
Berikutnya,
memahami kebutuhan kusus itu tidak hanya karena adanya hambatan luar biasa baik
di bawah rata-rata atau di atas rata-rata (yang disebut perbedaan interindividual), tetapi juga dapat
dipahami dengan membandingkan dalam diri anak itu sendiri (intraindividual).
Saya berusaha membuat
contoh menemukan perbedaan intraindividual
begini, Keadaan anak yang bernama Juhri tergolong pintar di kelas dan ini
normal karena banyak anak-anak lain di sekolah yang juga pintar. tetapi jika
dibanding dengan potensi kepintaran yang dimiliki si Juhri dengan hasil
belajarnya (prestasinya) selama ini nilainya biasa-biasa saja atau bahkan
kurang bagus. Artinya ada perbedaan (kesenjangan) antara potensi Juhri dengan
prestasi yang dicapai Juhri. Idealnya adalah anak yang pintar nilainya bagus.
Menurut
saya, kebutuhan khusus tanpa kelainan interindividual
seperti ini tidak kalah pentingnya
dengan kebutuhan khusus karena hambatan berkelainan atau luar biasa untuk
mendapat perhatian dan penanganan.
Berapa
banyak anak yang kita anggap biasa-biasa saja ternyata memiliki potensi bagus,
bahkan berapa banyak anak-anak yang kita anggap tidak bisa apa-apa ternyata
memiliki potensi istemewa.
Mungkin
karena ada kaitannya dengan kesulitan atau hambatan yang temporer tadi. Sayang
jika aset bangsa dan masa depan ini terabaikan.
Dan
Alhamdulillah pada saat saya menulis tulisan ini, di RCTI ditayangkan anak-anak
yang hafal Al Quran dengan cara menghafalnya masing-masing.
Saya
ingin menambahkan lagi, saya setuju sebutan anak berkebutuhan khusus itu bukan
istilah untuk menggantikan istilah anak luar biasa atau anak berkelainan. Sebab
lebih pada “kebutuhan anak” untuk mencapai prestasi sesuai dengan potensinya (saya tebali hurufnya), dan melihat
anak sebagai individu yang unik. Tidak seperti pada istilah anak luar biasa
yang lebih menitikberatkan pada keadaan fisik, mental, maupun emosi sosialnya.
Jikapun luar biasa, anak luar biasa tidak lagi dipandang dari kategori
kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan
kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya.
Saya lebih setuju jika
kita mengatakan anak murid saya si Andi mengalami kesulitan jika belajarnya
lebih banyak menggunakan ceramah dengan suara bicara dari pada menyebut si Andi
anak Tunarungu.
Sebagai penutup dikatakan berkebutuhan khusus jika mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan pengajaran khusus.
Walaupun saya punya persepsi, tapi jujur saya masih mengalami banyak kesulitan dalam memahami langsung peserta didik yang unik ini.